Selasa, 08 Juli 2025

Swara Muda Nusantara, Ketika Gen Z Bicara Lewat Budaya di Unmuh Jember

Di tengah geliat budaya populer yang semakin deras, mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Jember (Unmuh Jember) yang memilih untuk tidak sekadar ikut arus. Mereka memutuskan untuk bersuara, menyuarakan tentang akar, tentang rumah, tentang Indonesia. Lewat Festival Budaya 2025 yang digelar oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Psikologi Unmuh Jember, suara-suara itu akhirnya terdengar.

Mengangkat tema “Suara Muda Nusantara”, acara ini bukan hanya sekadar ajang pentas seni. Bagi mereka yang terlibat di dalamnya, ini adalah panggung kecil tempat generasi muda bisa menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga budaya di tengah tantangan zaman. Ketua panitia, Zinatul Hayati, menyebut bahwa festival ini menjadi wadah untuk menunjukkan bahwa generasi Gen Z tidak sepasif yang sering distereotipkan.

“Kami ingin membuktikan kalau Gen Z bisa, kok. Bisa bersuara, bisa peduli, bisa tampil dan bangga dengan budaya yang kita punya,” ujarnya. Pesan itu pula yang ingin ia sampaikan kepada sesama anak muda: bahwa budaya Indonesia terlalu berharga jika hanya dibiarkan menjadi cerita masa lalu.

Acara yang digelar usai salat Isya itu dihelat di Aula Ahmad Zainuri Unmuh Jember dan langsung disambut antusias. Panitia awalnya hanya menyiapkan 500 kursi, namun kenyataannya jumlah itu tak cukup. Ratusan orang rela berdiri, bahkan tetap bertahan hingga acara selesai menjelang pukul sembilan malam. Tak ada yang beranjak. Semua larut dalam suasana, seolah tak ingin melewatkan satu pun cerita yang dibawakan di atas panggung.

Festival ini menyajikan enam penampilan dari berbagai daerah, mulai dari Aceh hingga Papua. Masing-masing membawa kisahnya sendiri, dibalut dengan gaya yang berbeda dari biasanya. Para mahasiswa sengaja memadukan unsur budaya tradisional dengan sentuhan kekinian, agar lebih dekat dengan selera generasi sekarang tanpa menghilangkan esensinya.

Dari Aceh hadir kisah Harimau Betina Dari Tanah Rencong, sementara Jawa Tengah menampilkan Seribu Tapi Tak Satu. Malang hadir dengan Darah Dibalik Mahkota, sebuah kisah simbolik tentang perjuangan. Dari ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi membawakan Legenda di Ujung Timur, disusul Bali dengan Waktu Berbisik Di Bawah Terangnya Bulan Purnama. Awalnya hanya lima penampilan, namun di detik-detik terakhir, panitia sepakat menutup festival dengan penampilan tari Papua, lengkap dengan lagu Apuse, Sajojo, Yamko Rambe Yamko, agar benar-benar mencerminkan semangat “dari Sabang sampai Merauke”.

Yang membuat festival ini berbeda bukan sekadar kemeriahan panggungnya, tapi karena setiap penampilan membawa pesan. Bahwa di balik segala keterbatasan dan anggapan tentang Gen Z yang disebut ‘mageran’ atau terlalu sibuk dengan dunia digital, masih ada suara-suara yang ingin berbicara tentang bangsa, tentang budaya, tentang Indonesia. Dan panggung kecil di kampus Unmuh Jember malam itu menjadi saksi bahwa suara itu masih ada — bahkan nyaring.

Zinatul menyebut, festival ini hanyalah awal. Ia berharap kegiatan serupa bisa terus berlanjut dan menjadi ruang aman bagi generasi muda untuk mengekspresikan kecintaan mereka terhadap budaya Nusantara. “Lewat suara muda ini, kami ingin tunjukkan bahwa budaya Indonesia jauh lebih keren dari tren luar. Tinggal bagaimana kita mau atau tidak untuk menjaga dan merayakannya,” tutupnya.

Tags :

bm
Created by: Unas Aleansa

Humas Unmuh Jember Jaya Jaya Jaya!

Posting Komentar

Connect