
Di balik setiap tendangan yang dilatih berulang di atas matras, tersimpan semangat belajar yang tak kalah kuat. Zinatul Hayati mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jember (Unmuh Jember) membuktikan bahwa antara fisik yang tangguh dan otak yang cemerlang, tak ada jurang yang memisahkan.
Pada Senin (21/4/2025), ia dinobatkan sebagai Juara 1 Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) Unmuh Jember tingkat universitas. Kini, ia bersiap melangkah mewakili kampus biru di ajang Pilmapres Wilayah Jawa Timur.
Mahasiswi yang akrab disapa Inay ini tak asing dengan podium juara. Namun kali ini, bukan di gelanggang karate ia berdiri, melainkan di panggung akademik, mempersembahkan gagasan dan inovasi untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Inay tumbuh di dua dunia, persilangan antara mikrofon organisasi, buku kuliah, dan suara hentakan kaki di dojo. Ia kini menjabat sebagai Ketua Umum HIMAKOM (Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi) sekaligus menyandang sabuk hitam karate yang telah mengantarkannya menjuarai berbagai kompetisi. Teranyar, ia membanggakan almamaternya dengan meraih Juara 2 Mageti Open International Karate Championship 2024, sebuah ajang bergengsi yang mempertemukan lebih dari 2000 atlet dari dalam dan luar negeri.
Dalam kategori Kumite -68kg, Inay sukses menumbangkan lawan-lawan tangguh dari kampus ternama seperti Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), hingga Politeknik Negeri Malang (Polinema).
“Awalnya saya hanya mengikuti saran orang tua untuk ikut bela diri,” ungkapnya. “Tapi dari sana saya belajar tentang kedisiplinan, tentang jatuh dan bangkit, dan tentang semangat untuk terus berkembang.”
Siapa sangka, awal keikutsertaan Inay dalam Pilmapres justru bermula dari sebuah tantangan. Seorang dosen memintanya mencoba, dan alih-alih ragu, ia menyambutnya dengan yakin. “Saya ingin membuktikan bahwa mahasiswa yang aktif organisasi dan olahraga juga bisa unggul di bidang akademik,” katanya.
Dengan disiplin khas karateka dan ketekunan mahasiswa komunikasi, ia menyusun proposal gagasan inovatif dan berdiskusi intens dengan dosen pembimbing. Gagasannya lahir dari pengalaman masa SMA, saat ia pernah membuat aplikasi sederhana.
Kini, ia mengembangkan Vidya Samskara, sebuah aplikasi pembelajaran membaca untuk anak-anak SD di Kabupaten Situbondo.
Aplikasi ini memadukan konten lokal dan metode interaktif untuk membantu mengurangi angka buta aksara. Tak hanya ide, aplikasi ini mencerminkan empati dan keberpihakan pada masyarakat. “Saya ingin inovasi ini benar-benar bisa diterapkan, bukan sekadar jadi konsep,” tuturnya.
Membagi waktu antara rapat organisasi, jadwal latihan karate, dan target akademik tentu bukan perkara mudah. Namun Inay punya kunci: manajemen waktu dan prioritas. Kuliah selalu menjadi yang utama, sementara waktu lainnya dialokasikan untuk kegiatan non-akademik yang menunjang soft skill.
Kini, Inay tengah bersiap menghadapi kompetisi Pilmapres tingkat wilayah. Ia ingin mempersembahkan yang terbaik, tak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi Unmuh Jember dan komunitas pendidikan tempat ia tumbuh. Ia berharap inovasinya tak hanya diapresiasi, tetapi juga bisa berdampak nyata.
Untuk mahasiswa lain, Inay menyampaikan pesan sederhana namun dalam: “Jangan batasi diri. Organisasi, olahraga, akademik, semua bisa dijalani kalau kamu mau berusaha. Prestasi itu bukan tentang siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling konsisten dan punya semangat belajar.”
Dari Dojo ke podium akademik, kisah Zinatul Hayati menjadi bukti bahwa prestasi sejati tidak lahir dari satu jalur saja. Ia ditempa oleh latihan, disusun oleh mimpi, dan dijalani dengan hati yang tekun.