Tanggapan Akademisi Hukum Unmuh Jember Terhadap Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Dr. Fina Rosalina, SH.,MH. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiah Jember, Divisi Advokasi dan Hukum ICMI Jember |
Pemerkosaan bocah balita usia lima tahun oleh
mahasiswa di Kabupaten Jember menjadi pemberitaan yang hangat diperbincangkan.
Pemberitaan melalui Radar Jember, 04 September 2024, menyatakan bahwa kasus
perkosaan tersebut belum juga P21 meski sudah dilaporkan pada bulan Januari
lalu. Mirisnya, pemerkosaan bocah lima tahun tersebut dilakukan oleh orang
terdekat, yaitu sepupunya. Pelaku adalah seorang mahasiswa berusia 22 Tahun.
Tidak hanya di Jember, Juni 2024 di Sulawesi Tengah dengan dengan laporan
polisi LP/B/73/X/SPKT/Res Parigi Moutong/Polda Sulteng, seorang anak diperkosa oleh Ayah Tiri-nya. Kini kasusnya telah naik
ke tahap penyidikan. Adapula di Aceh seorang ayah
ditangkap sebab
diduga memperkosa anak kandungnya yang berusia 16 tahun hingga hamil dan
melahirkan. Kejahatannya dilakukan sejak tahun 2017 dan baru
ditangkap di tahun 2024. Pemerkosaan terhadap anak dibawah umur dengan pelaku
keluarga rasanya semakin memekak-kan
telinga.
Kendati memilukan, namun pemerkosaan terhadap anak,
faktanya tidak lagi menjadi hal yang baru. Tahun 2023, Sistem informasi online
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat telah terjadi kekerasan seksual terhadap anak
sebanyak 24.158
kasus. Data ini dikonfirmasi meningkat dari tahun ke tahun.
Mirisnya, setidaknya 1.879 kekerasan seksual dilakukan oleh teman korban dan
sebanyak 1.407 kekerasan seksual dilakukan oleh orang tua atau keluarga korban.
Terjadinya kekerasan seksual dalam lingkup orang-orang terdekat seringkali terjadi disebabkan adanya ikatan kepercayaan yang begitu kuat
dan relasi
kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Kabar buruknya, bilamana perkara ini tidak menjadi
perhatian khusus, maka bisa jadi suatu saat korban akan berpotensi memiliki
perilaku menyimpang atau bahkan menjadi pelaku kejahatan serupa yang terus
berulang. Mata rantai kekerasan seksual terhadap anak harus segera diputus dan
dicabut akar musababnya.
Anak merupakan subjek yang oleh hukum dijamin untuk
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Undang Undang
Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah anak dengan usia dibawah 18
Tahun atau yang masih dalam kandungan. Hukum mengatur sanksi pemidanaan yang begitu berat bagi pelaku tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak. Tak tanggung-tanggung pasal berlapis dengan
ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun ditambah 20 tahun dapat diberikan kepada pelaku kejahatan. Ketentuan sanksi pemidaan
tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal
76 D jo Pasal 81 ayat 1 Undang Undang No 25 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
anak dan Undang Undang No 12 Tahun 2022 Tentang Kekerasan Seksual. Namun ancaman tersebut hanya
akan menjadi harimau tak bertaring bila aparat penegak hukum tak serius dalam
menangani perkara kekerasan seksual dengan anak sebagai korban.
Perkara kekerasan seksual, memang memiliki kerumitan
tersendiri. Bila merujuk pada ketentuan KUHAP setidaknya penyidik harus
memiliki “bukti yang cukup”. Hal mana menurut Putusan MK 21/PUU-XII/2014 yang maksud dari “bukti
yang cukup" adalah dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Kesulitan
terjadi adalah ketika dalam proses pemekosaan tersebut tidak saksi mata telah
terjad pemerkosaan. Namun demikian, dalam perkembangannya, terdapat keringanan
untuk melakukan pembuktian dalam perkara kekerasan seksual Secara khusus pembuktian
tindak pidana kekerasan seksual, keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah
lainnya. Mekanisme
tersebut seharusnya memudahkan aparatur hukum dalam penangan tindak pidana
kekerasan seksual khususnya terhadap anak.
Sebagai salah
satu negara yang menandatangani dan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia
memiliki tanggung jawab untuk menerapkan segala hal yang tercantum dalam
Konvensi Hak Anak (Convention on the
Right of the Children). Salah satu hak yang dimaksd adalah hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum bagi anak yang mengalami eksploitasi dan
penyalahgunaan seksual. Bahkan bukan hanya secara hukum, Negara harus turun secara
langsung untuk mengambil peran serta melindungi anak dari kekerasan
seksual. Lambannya penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak menggambarkan
bahwa Aparatur Penegak Hukum sebagai wujud kehadiran negara tidak sejalan
dengan komitmen peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain, upaya menekan terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak dibutuhkan konsistensi bertaut dan berkesinambungan mulai hulu hingga
hilir. Butuh penuntasan serius dari akar musabab, penanganan hingga tindakan. Di sinilah urgensi akan atensi para
pihak terhadap persoalan asusila terhadap anak. Tidak hanya masyarakat,
institusi yang fokus pada penanganan anak dan aparatur penegak hukum namun juga
kontribusi konkrit dari perguruan tinggi sungguh sangat berarti.
Posting Komentar