Nilai tukar rupiah terus melemah dan menyentuh level kritis
Rp17.000 per dolar AS, mencerminkan tekanan berat pada perekonomian Indonesia.
Kondisi ini memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan
daya beli masyarakat.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas
Muhammadiyah (Unmuh) Jember, Dr. Eko Budi Satoto, M.MT., memberikan analisis
terkait pelemahan rupiah ini. Menurutnya, faktor eksternal dan internal saling
berpotensi memperburuk situasi.
"Kondisi perekonomian Indonesia saat ini sangat berat
dengan beban utang yang banyak, juga ditambah dengan kebijakan perekonomian
yang tidak disukai oleh pasar, seperti adanya Danantara," jelasnya.
Selain itu, kebijakan larangan ekspor sawit ke Eropa dan
pembatasan nikel dinilai memperburuk hubungan dagang dengan negara-negara
Eropa. Meskipun hubungan dengan China masih baik, masalah lain muncul ketika
Amerika Serikat memberlakukan tarif ekspor tinggi, yang berdampak pada banyak
negara, termasuk Indonesia.
Budi menambahkan, pelemahan rupiah diperparah oleh penurunan
pasar saham. "Dari pantauan saya, hampir semua saham anjlok. Ini pertanda
bahwa krisis sudah terjadi," tegasnya.
Kenaikan dolar AS membebani industri yang bergantung pada
bahan baku impor (lebih dari 60%) dan berpotensi meningkatkan angka
pengangguran.
"Harga bahan baku naik, biaya produksi melambung.
Namun, ketika barang jadi diekspor ke AS, tarif tinggi membuat harga jual tidak
kompetitif. Akibatnya, permintaan turun, pabrik bisa kolaps, dan pengangguran
merajalela," paparnya.
Sebagai solusi darurat, Budi menyarankan peningkatan
konsumsi produk lokal untuk mengurangi tekanan impor dan menjaga perputaran
ekonomi dalam negeri.
Sedangkan Achmad Hasan Hafidzi, S.E., M.M, dosen FEB Unmuh
Jember lainnya, menyoroti kebijakan tarif impor AS sebesar 32% sebagai salah
satu pemicu pelemahan rupiah. "Amerika menerapkan tarif tinggi terhadap
produk Indonesia, sementara kita tidak mampu membalas karena ketergantungan
kita terhadap dolar masih sangat besar," ujarnya.
Hasan menjelaskan, Indonesia sebenarnya bisa tidak
sepenuhnya berpatokan pada dolar, melainkan beralih ke poundsterling atau euro.
Namun, masalahnya, permintaan ekspor Indonesia dari kawasan Uni Eropa masih
rendah dibandingkan dengan negara-negara yang bertransaksi menggunakan
dolar.
Ia juga beranggapan Indonesia akan sangat sulilt untuk
melawan kebijakan tarif impor yang dibuat oleh AS.
"China bisa melawan kebijakan AS karena ekonominya
kuat. Sedangkan Indonesia masih lemah, sehingga sulit menerapkan pembalasan
tarif yang setara," jelasnya.
Ia mendorong Indonesia untuk bergabung dengan BRICS (aliansi
ekonomi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) guna mengurangi
ketergantungan pada dolar.
"Dengan transaksi non-dolar, nilai rupiah bisa lebih
stabil karena tidak terlalu terpengaruh fluktuasi dolar AS," tegas
Hasan.
Kedua dosen sepakat bahwa krisis nilai tukar rupiah saat ini
memerlukan solusi jangka pendek dan panjang. Di tingkat masyarakat, konsumsi
produk lokal dapat membantu mengurangi tekanan impor. Sementara di tingkat
kebijakan, diversifikasi mata uang perdagangan dan kerja sama ekonomi
alternatif (seperti BRICS) bisa menjadi strategi untuk mengurangi
ketergantungan pada dolar AS dan memperkuat stabilitas rupiah.
Posting Komentar