Sound Horeg: Antara Ekspresi Budaya Lokal dan Ancaman Konflik Sosial
Menjelang Agustus, dentuman sound horeg kembali menggema di jalanan desa hingga kota. Fenomena ini bukan sekadar soal suara keras dan berjoget, melainkan cerminan dari identitas, interaksi sosial, hingga modifikasi budaya lokal, menurut Danan Satriyo Wibowo S.Sos, M.Si,, dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember (Unmuh Jember).
“Secara psikologis, sound horeg bisa dibedah dari tiga sisi: ekspresi identitas, interaksi sosial, dan nilai budaya lokal,” ujar Danan.
Fenomena ini, menurut Danan, bukanlah hal baru. Setiap momen Agustusan, masyarakat sudah akrab dengan iringan sound system di atas mobil pickup. Namun, kini bentuknya kian massif lengkap dengan lampu, remix ekstrem, hingga kontes adu kekuatan suara alias battle sound.
“Ini sudah menjadi medium eksistensi sosial. Siapa yang punya sound paling heboh, dia naik strata sosialnya,” jelasnya.
Tak hanya hadir di perayaan kemerdekaan, sound horeg kini muncul di berbagai momen seperti pelepasan jamaah umrah, pernikahan, bahkan prosesi duka. Fenomena ini menjadi hiburan yang murah, meriah, dan bisa dinikmati semua kalangan.
Danan menambahkan, dukungan dan respon positif dari masyarakat justru memperkuat eksistensi komunitas pecinta sound horeg.
“Begitu masyarakat menerima dan menikmatinya, itu menjadi penguatan sosial. Mereka merasa diterima dan makin eksis. Ini sesuai teori penguatan dari Skinner,” tuturnya.
Selain sebagai ekspresi individual, sound horeg juga menciptakan rasa memiliki dalam komunitas. Orang yang sebelumnya tidak suka bisa berubah menerima karena tekanan norma dan konformitas kelompok.
Namun, tak semua masyarakat menerima kehadiran sound horeg dengan tangan terbuka. Volume menggelegar hingga menimbulkan getaran kaca rumah, bahkan kerusakan fisik, menjadi sumber konflik sosial.
“suara itu bisa mengguncang kaca jendela dan genteng rumah. Ini bisa menyebabkan pertengkaran antarwarga jika tidak diatur,” katanya.
Tak hanya itu, sound horeg dinilai dapat memicu polusi suara, bahkan berbahaya bagi orang dengan gangguan jantung. “Efeknya bisa lebih serius dari polusi udara. Ini bisa memekakkan telinga, dan fatal bagi kesehatan,” tegasnya.
Di balik kontroversi, ada peluang ekonomi dan kreativitas. Danan menyebut, satu paket sound horeg bisa disewa hingga puluhan juta rupiah. “Satu kotak sound bisa Rp1 juta, satu truk 12 unit bisa Rp37 juta,” ujarnya.
Fenomena ini menjadi bentuk “modifikasi budaya” di mana unsur tradisional dikawinkan dengan teknologi modern. “Dulu pakai gamelan, sekarang pakai speaker aktif dan remix. Ini bagian dari kreativitas,” tambahnya.
Danan menilai, tanpa regulasi yang jelas, sound horeg bisa berujung pada perpecahan masyarakat. “Kalau dibiarkan liar, bisa jadi bencana sosial. Perlu aturan soal volume, waktu, dan tempat,” katanya.
Di beberapa kota, seperti Malang, sudah ada fatwa MUI yang menyentil soal ini. Namun, menurut Danan, pendekatan psikologis tetap penting: memahami bahwa ini adalah ekspresi kultural yang lahir dari kebutuhan hiburan masyarakat pinggiran yang minim akses alternatif.
Mengakhiri wawancara, Danan mengingatkan agar sound horeg tidak dilihat hitam-putih. Ia menyarankan pendekatan yang bijak.
“Di satu sisi, ini sarana ekspresi dan hiburan murah. Di sisi lain, kalau tidak diatur, bisa jadi pemicu konflik dan gangguan sosial. Psikologi melihat ini sebagai dilema sosial yang harus dicari jalan tengahnya,” tutupnya.
Posting Komentar